FILSAFAT
1. Latar belakang timbulnya
filsafat
a. Heran,
kagum, dan takjub terhadap alam semesta dan peristiwa peristiwanya.
Pertama tama bangsa Yunani dalam menghadapi alam
semesta beserta peristiwanya itu, yang muncul dari rasa heran, kagum dan takjub
adalah percaya adanya mitologi. Karena mitologi mitologi itu merupakan
percobaan untuk mengerti. Mite mite sudah memberi jawaban atas kekaguman
dan keheranan manusia pada waktu itu. Kemudian mereka mulai mengadakan beberapa
usaha, seperti mensistematiskan mite, menghubung hubungkan antara mite mite,
dll. Akirnya mereka mulai berpikir secara serius dan muncullah filsafat.
b. Timbulnya
kesusastraan Yunani.
Kesusastraan dimaksud bukanlah dalam arti sempit,
seperti puisi atau sebangsanya, melainkan dalam arti yang seluas luasnya,
sehingga dapat meliputi seperti, teka teki, dongeng, ceritera pendek, syair,
dll. Kemudian karya sastra seperti inilah yang mulai dipakai sebagai
semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Contoh, yaitu syair syair
dapat berperan sebagai pendidikan, hal ini bisa dibandingkan di Jawa atau
Bali seperti wayang dan semacamnya.
c. Pengaruh
ilmu pengetahuan yang sudah terdapat di Timur Kuno.
Hal ini dipahami dari datangnya ilmu ukur dan ilmu
hitung yang sebagian besar datang dari Mesir. Ilmu ini di Mesir digunakan untuk
mengukur dan menghitung wilayahnya yang terkikis sungai Nil. Tetapi bagi bangsa
Yunani, ilmu pengetahuan itu tidak dijalankan dalam konteks praktis saja.
Mereka mulai mempelajarinya dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly)
saja, melainkan dipraktekan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi
untung yang letaknya di luar ilmu pengetahuan.
a. Menurut
Plato, bahwa filsafat adalah ilmu pength. yang berminat
mencapai kebenaran yang asli.
b. Menurut
Aristoteles, filsafat adalah ilmu pength. Yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
c. Menurut
Descartes, bahwa filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di
mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
d. Menurut
Notonagoro, bahwa filsafat mengelola hal-hal yang menjadi
objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan tindakan yang tidak berobah, yaitu
disebut hakekat.
e. Menurut
Everton, bahwa Philosophy is love of learning, Philosohy is an
interpretation of live, its value and meaning, Philosophy provides us with a
rational view of the world.
f.
Jadi menurut penulis, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
yang ada dengan mendalam sampai ke hakekatnya.
a. Universal,
artinya dalam berpikir tidak berkaitan dengan hal-hal khusus, melainkan
berkaitan dengan idea-idea besar, misal: bukan menanyakan berapa harta anda
disedekahkan, namun apa keadilan itu, dsb.
b. Spekulatif,
artinya berpikir yang melampaui batas batas bidang pengeth. Ilmiah,
berpikir untuk menduga apa yang akan terjadi, dan berpikir terkaan terkaan yang
cerdik thdp hal hal di luar pength, kematian, kebahagiaan sempurna, dll
c. Nilai
nilai (Inggris: values), artinya berpikir tentang keputusan penilaian, seperti
nilai moral, nilai estetis, nilai sosial, nilai religius, dll. Dalam hal ini
nilai sifatnya abstrak yang melekat pada suatu hal, sehingga dapat menimbulkan
rasa senang atau puas terhadap halnya.
d. Kritis,
artinya dalam berpikir mengahadapi sesuatu hal tidak menerima begitu saja,
namun memeriksa dan menilai asumsi asumsinya, mengungkapkan arti, dan
menentukan batas penerapannya.
e. Sinoptik,
artinya meninjau hal yang menjadi objeknya secara menyeluruh, yaitu berusaha
mengadakan generalisasi, menganalisa, mensintesakan, dan mengadakan
integrasinya. Jadi mencakup setruktur kenyataan secara menyeluruh.
f.
Radikal, kata ini berasal dari lata Yunani “radix” artinya
akar. Jadi berarti berpikir sampai ke akar akarnya, yaitu berpikir sampai ke
hakikat, esensi atau substansi yang dipikirkan.
g. Konseptual,
artinya berpikir sampai ke hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal hal dan proses individual. Misal: berpikir tentang manusia tidak
secara khusus, melainkan manusia secara umum, seperti: apa hakekat manusia ?.
h. Koheren
dan konsisten, arinya dalam berpikir sesuai dengan kaidah
kaidah berpikir (logis), dan tidak mengandung kontradiksi.
i.
Sistematis, , artinya dalam berpikir merupakan kebulatan dari
sejumlah unsur yang saling berhubungan untuk mencapai suatu maksud dan
tujuannya.
j.
Komprehensif, artinya dalam berpikir mencakup secara menyeluruh,
sehingga tidak ada satupun yang tertinggal di luarnya.
k. Bebas, artinya
bebas dari prasangka prasangka sosial, historis, kultural, religius, dan lain
sebagainya.
l.
Bertanggung jawab, artinya berpikir yang bertanggung jawab, misalnya:
dalam berpikir ada pertanggung jawaban terhadap hati nuraninya sendiri.
Objek Filsafat:
Objek filsafat ada dua jenis, yaitu:
a. Objek materiil.
b. Objek formil.
Pemahaman pertama atas segala sesuatu ialah pemahaman
mengenai suatu yang identik. Artinya, bahwa “Sesuatu” itu Sesuatu
yang tertentu, dan bukannnya sesuatu yang lain. Yaitu: “Ini” adalah Ini dan
bukan Itu. Kelanjutannya berupa suatu konsep, bahwa A=A, A
bukan non A, segala sesuatu itu A atau non A. Contoh
kongkritnya ialah bahwa “Mangga” itu Mangga.
Jadi terdapat suatu keteraturan, bahwa kalau
kita menanam biji mangga, maka kita pada suatu waktu akan memetik buah
mangga. Mengapa ?. Karena segala sesuatu itu identik dengan hakekatnya, jati
dirinya. Segala sesuatu itu menjadi sesuatu di dalam suatu kerangka himpunan
hal hal, sedemikian rupa sehingga pemahaman tentang sesuatu juga kita peroleh
melalui vector, atau medan keberadaannya. Suatu alat rumah tangga
misalnya, yang kita kenal sebagai “Meja”, kita takrifkan sebagai “Alat Rumah
Tangga” yang isi pengertiannya plus terhadap pengertian Alat Rumah Tangga,
namun yang wilayah berlakunya pengertian “meja” lebih sempit daripada wilayah
yang dicakup oleh pengertian Alat Rumah Tangga. Suatu Subjek yang
didefinisi harus lebih sempit dari Predikatnya, dan juga lebih kongkret.
Rumusnya ialah : S < P. Lalu kalau kita bertanya : Semua ini
apa ?.
Sesuai dengan aturan di atas, Sesuatu itu, yaitu
Semua, yang harus merada pada sesuatu yang keluasannya melebihi Sesuatu yang
kita sifatnya sebagai Semua itu tadi. Kalau begitu, maka Semua itu bukan
Semua, sebab masih ada sesuatu yang mengatasi kesemuanya. Baru membicarakan
suatu hal yang kita sebut “Semua” saja, kita berhadapan dengan sesuatu, yang
mau tidak mau kita lalu .......(merenung) . Jadi yang namanya “semua” adalah
disebut “ada”. Artinya: ada dalam realita (kenyataan), ada dalam pikiran,
dan ada dalam kemungkinan.
0 komentar:
Posting Komentar